Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berada
ditengah proses transisi dan perubahan sosial serta budaya yang pesat,
sebagai bentuk masyarakat yang mulai memasuki budaya modern dan
kontemporer, hal ini membawa dampak banyaknya warga masyarakat yang
semakin menjauhkan diri dari pranata sosial dan budaya asli sehingga
masyarakat semakin memandang nilai etika dan moral tidak begitu mengikat
dan tidak menjadi dasar kehidupan. Masyarakat Indonesia telah menjadi
masyarakat terbuka dan menerima budaya global serta secara terbuka
menerima unsur dan nilai budaya asing. Dunia pendidikan di Indonesia
juga terkena imbas dari serangkaian dampak perubahan sosial yang terjadi
akibat globalisasi. Proses globalisasi telah membuat perubahan yang
besar dalam lapangan ekonomi dan politik, karena itu mau tidak mau juga
akan menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam bidang pendidikan baik
pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Saat sekarang terjadi
reorientasi pendidikan baik pada tingkat kelembagaan, kurikulum maupun
manajemen sesuai dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi
dalam proses globalisasi tersebut.
Pendidikan Mahal
Pepatah
barat kaum kapitalis menyebutkan “tidak ada sarapan pagi yang gratis”.
Tampaknya pepatah ini mulai digunakan oleh beberapa perguruan tinggi
besar di Indonesia dalam menjalankan visi pendidikannya. Beberapa
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memasang tarif yang gila-gilaan, akibatnya
sebagian besar orang tua dan anak anak lulusan SMA menjadi kelimpungan.
Impian untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN favorit seakan dihadang
ranjau yang membahayakan masa depannya. Ada sebuah fenomena menarik
dikalangan PTN besar dan favorit di Indonesia yang terkesan “money
oriented”, hanya bersifat materialistis belaka, yang hanya dengan sebuah
argumentasi bahwa subsidi dari pemerintah/negara untuk PTN minim sekali
dan tidak dapat memenuhi kebutuhan PTN. PTN ini telah membuat kebijakan
pembayaran uang kuliah yang sulit dijangkau masyarakat umum, tanpa mau
berpikir panjang mencari sumber sumber dana alternatif selain “memeras”
mahasiswanya.
Pihak PTN berpikir bahwa kampus yang mereka kelola
sangat marketable sehingga merekapun mengikuti hukum ekonomi, “biaya
tinggi mengikuti permintaan yang naik”. Memang cukup dilematis, disatu
sisi masyarakat dan negara selalu ingin meningkatkan kemampuan atau
kecerdasan penerus bangsanya tetapi secara paradoks, masyarakat telah
dibelenggu oleh biaya pendidikan yang mahal dan membuat seolah olah
hanya kaum yang berduitlah yang mampu menyekolahkan anaknya Meski secara
resmi pembukaan pasar bebas bidang pendidikan di Indonesia berlaku
mulai tahun 2006 namun invasi pendidikan asing yang berimplikasi pada
meningkatnya biaya pendidikan sudah lama terasa. Liberalisasi pendidikan
terutama pada perguruan tinggi yang dipromosikan oleh WTO (World Trade
Organization) sebetulnya dibungkus dengan sesuatu yang positip yakni
agar lembaga pendidikan asing bisa memacu peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia namun realitas dilapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan cita
cita awalnya. Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor UGM mengemukakan bahwa
angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun 2004 hanya
14%, jauh dibawah Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%.
Memang sebuah angka partisipasi pendidikan yang masih dibawah standar.
Dan dengan berbekal ini, pendidikan tinggi di Indonesia semakin mahal
yang semakin menjauhkan masyarakat menengah ke bawah dengan keinginan
untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi negeri favorit yang
murah.
Pendidikan Tidak Terfokus
Pendidikan
di Indonesia selama ini terkesan tidak terfokus, ganti menteri
pendidikan maka ganti juga kurikulum dan sistem pendidikannya.
Pendidikan di Indonesia kurang membentuk kepribadian akademis (academic
personality) yang utuh. Kepribadian akademis sangat penting dimiliki
oleh pelaku pendidikan (anak didik dan pendidik) yang akan maupun yang
sudah menguasai ilmu pengetahuan. Kepribadian akademislah yang dapat
membedakan pelaku pendidikan dengan masyarakat umum lainnya.
Perkembangan pendidikan di Indonesia tak ubahnya seperti industri,
pendidik hanya bertindak sebagai pencetak produk masal yang seragam
tanpa memikirkan dunia luar yang berubah menjadi lebih rumit. Cara
pendidik mengajar juga cenderung mengarah pada pembentukan generasi muda
yang dingin dan mengagungkan individualisme. Diskusi yang bersifat
dialog jarang terjadi dalam proses pendidikan kita, bersuara kadangkala
diartikan keributan yang dikaitkan dengan tanda bahwa anak yang
bersangkutan tidak disiplin atau bahkan dianggap bodoh. Kondisi
pendidikan utamanya di perguruan tinggi dewasa ini terlihat kurang
kondusif dan kurang konstruktif karena terjadi gejala sosial yang kurang
baik muncul dalam lingkungan kampus. Konflik antar mahasiswa atau
pimpinan lembaga pendidikan tinggi telah terjadi di beberapa kampus,
sehingga citra lembaga pendidikan tinggi agak mengalami kemunduran.
Tampaknya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya mampu mewujudkan
watak dari ilmu pengetahuan yang bersifat terbuka.
Ilmu
pengetahuan menolak adanya sifat tertutup. Apa yang dianggap benar harus
dapat dibuktikan (diverifikasi) secara terbuka di depan publik. Jika
kita mengatakan bahwa air yang dipanaskan sampai 100 derajat celcius
akan mendidih, maka dipersilakan semua orang untuk membuktikan fenomena
tersebut. Karena itu kalangan akademisi harus memiliki sifat keterbukaan
tersebut, kita harus dapat mengembangkan pengetahuan baru seperti
konsep dan teori baru secara terbuka dan bukan untuk disembunyikan
seperti dalam budaya konservatif. Pada awalnya ilmu pengetahuan yang
dihasilkan dari dunia pendidikan berposisi untuk melakukan perlawanan
terhadap mitos-mitos, seperti perlawanan Socrates terhadap tradisi
mitologi budaya Yunani kuno yang percaya akan adanya dewa-dewi dan
menganggapnya sebagai segala galanya. Socrates sangat percaya bahwa akal
manusia dapat menjadi sumber kebenaran. Maksud dari perlawanan ini
bahwa ilmu pengetahuan mengembangkan watak rasionalitas dalam
menjalankan proses pendidikan. Ditengah gejala kurang fokusnya orientasi
pendidikan kita, pendidikan di negara kita juga dihinggapi oleh masalah
masih minimnya tingkat kesejahteraan para pendidik (kaum guru) yang
mengemban tugas meningkatkan kecerdasan anak bangsa. Ungkapan pahlawan
tanpa tanda jasa yang dilabelkan kepada sosok guru telah membentuk
kesadaran masyarakat tersendiri bahwa tugas guru hanya mencerdaskan
bangsa tanpa mengurus kesejahteraannya sebagai manusia. Guru merupakan
faktor yang penting dalam pendidikan, sebaik apapun sistem dan
kurikulumnya yang dibuat, jika tidak didukung oleh profesionalisme guru
maka bisa dipastikan hasilnya tidak maksimal. Undang-Undang tentang Guru
dan Dosen yang telah disahkan tidak secara cepat ditindaklanjuti oleh
pemerintah.
Pemerintah dalam melakukan reorientasi pendidikan
belum menyentuh substansi dasar pada pihak pendidik dan sarana prasarana
belajar, selama ini pembaharuan baru ditunjukkan melalui perubahan
perubahan kurikulum saja dan masih minim melakukan perbaikan sarana dan
prasarana, kita bisa lihat di pedesaan banyaknya gedung gedung sekolah
yang rusak dan kurang mendapat perhatian serius. Ada sesuatu yang
krusial atas kompleknya permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia
dimana anggaran pendidikan kita masih jauh dari anggaran yang
digariskan yaitu 20% dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)
seperti disyaratkan oleh Undang Undang Dasar kita. Sebagai gambaran
saja, untuk tahun 2006 anggaran pendidikan kita baru Rp 41,3 triliun
atau sekitar 9,1% dari APBN, bahkan peningkatan anggaran pendidikan yang
diajukan oleh pemerintah untuk RAPBN 2007 sangat tidak signifikan
sekali yakni hanya menjadi Rp. 51,3 triliun atau sekitar 10,3 % dari
RAPBN. Memang sebuah angka yang masih jauh dari kata cukup.
Pendidikan Yang Membebaskan
Meminjam
pendapat seorang tokoh terkenal di bidang pendidikan dari negara Brazil
yakni Paulo Friere dalam bukunya berjudul Pedegogy of Hope yang
mengatakan bahwa “tujuan pendidikan hendaknya bukan berpihak kepada
partai ini atau partai itu, juga bukan kepada agama ini atau agama itu
yang sectarian atau ideologis, melainkan pendidikan harus ditujukan
untuk pembebasan yakni agar orang mampu secara beradab menentukan
pilihannya”. Friere terkenal dengan terobosannya membuat sistem
pendidikan alternatif dengan mengedepankan proses dialogis dan proses
penyadaran pada masing masing individu didalamnya (peserta didik).
Friere menekankan kepada kita untuk mendasarkan pada kesadaran dalam
melakukan segala sesuatu tanpa ada suatu tekanan maupun
paksaan/penindasan dari luar diri.
Ketika kita mulai memberi
kepercayaan akan akal manusia, maka kita mulai mengakui adanya suatu
kesadaran (the conciousness) dalam diri manusia. Pikiran manusia dapat
membuat kesadaran, kesadaran adalah pengetahuan yang dibentuk oleh
pikiran atau akal manusia. Karena itu kita akan mengenang pikiran Rene
Descartes yang mengatakan bahwa “aku berpikir, aku sadar, maka aku ada”
dengan demikian, kesadaran yang ada dalam pikiran itu membuat kita
memiliki pengetahuan. Dari kesadaran itu kemudian muncul pemahaman
tentang nilai-nilai, dimana kita memiliki kebebasan untuk memberikan
pengertian terhadap istilah yang dibuat dengan menggunakan kebebasan
berpikir yang disertai dengan rasio.
Kondisi pendidikan di
Indonesia harus mulai diarahkan kepada peningkatan kesadaran peserta
didik dalam memandang objek yang ada, peran pendidik yang sangat dominan
dan otoriter harus dikurangi, peranan pemerintahpun dalam
“mengacak-acak” kurikulum harus dikaji secara cermat, kalaupun itu harus
dilakukan maka terlebih dahulu harus dilakukan penyerapan aspirasi
secara demokratis.
Segenap komponen bangsa harus turut melakukan
pembenahan sistem pendidikan di Indonesia sehingga penciptaan kesadaran
individu dalam rangka kebebasan berpikir dan bertindak dengan
mengedepankan etika dan norma di masyarakat dapat diwujudkan, hal ini
dapat dilakukan melalui pendidikan formal di bangku sekolah dan juga
pendidikan non formal sebagai metode pendampingan masyarakat luas dalam
proses pendidikan bangsa yang harus terus dilakukan secara kontinyu,
karena di masa sekarang maupun di masa mendatang, seorang intelektual
tidak hanya cukup bergutat dengan ilmunya belaka namun realita sosial di
masyarakat juga harus menjadi objek pemikiran dalam dirinya. Pemerintah
dan lembaga politik lainnya harus memiliki komitmen untuk terus
berupaya meningkatkan anggaran bagi dunia pendidikan di Indonesia
sehingga angka 20% dapat segera terealisasikan. Dengan ketatnya
persaingan dewasa ini, arah pendidikan di Indonesia harus mampu berperan
menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global dan pada
waktu yang sama, pendidikan juga memiliki kewajiban untuk melestarikan
national character dari bangsa Indonesia.